Monday, March 29, 2010

Hari-Hari yang Membosankan

Mengapa ya hari-hari kok rasanya membosankan? Bangun pagi, sholat subuh, ngaji, baca buku, olah raga, setrika, minum susu, mandi, berangkat ke kantor, kerja, kerja, dan kerja, pulang kantor, olah raga (lagi), mandi, magrib, makan malam, isya', baca buku atau nonton, tidur. Begitu terus setiap hari. Jebakan sirkuler. Monoton. Gak ada variasinya. Weekend, mostly, ya tidur. Karena hari libur adalah hari tidur sedunia. La trus, di mana letaknya jam-jam kreativitas? Kadang saya agak pusing untuk menentukan letak jam-jam produktif untuk menulis. Pengen rasanya punya waktu luang yang berlebih, traveling ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, membaca buku sampai jauh malam dengan cemilang siap di rak tanpa perlu repot-repot harus menjemputnya dari supermarket. Punya segepok uang di rekening yang bisa menjamin untuk melakukan apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Pengen ini, pengen itu, pengen semuanya. Tentunya yang fun aja.

Pekerjaan administratif yang saya kerjakan memang tidak terlalu berat. Tapi, berada pada kondisi ini selama beberapa waktu, melakukannya secara rutin hampir setiap minggu dengan warna yang serupa, kadang-kadang bosan juga. Pengen sekali punya variasi pekerjaan di luar kantor yang sekaligus bisa mengusir kepenatan. Pikiran untuk membeli motor, pindah tempat kos, atau keinginan untuk melanjutkan sekolah membuat saya harus membuat pilihan-pilihan strategis, yang tentunya juga membutuhkan konsekuensi-konsekuensi.

Tadi saya sempat mengintip situsnya Dewan Kesenian Jakarta, ada lomba menulis novel DKJ 2010. Kayaknya tantangannya lumayan juga. Pengen banget ikutan lomba menulis novel yang berbau-bau sastra begitu. Tapi kalau saya lihat karya-karya jebolan yang menang lomba di tahun-tahun sebelumnya kok isinya gak jauh-jauh dari tema politik, seks, dan masalah-masalah sosial. Kok sepertinya belum ada ya pemenang yang karyanya unik mengenai anak-anak, pendidikan, ajaran budi pekerti, atau hal-hal yang 'pokoknya' gak jauh-jauh dari anak-anak gitu lo. Seingat saya sih kok belum ada ya?

Pengen banget ikutan lomba menulis novel ini? Tapi entah gak tau ya, 30 September 2010 nanti udah bisa selesai atau belum? Selesai gak selesai tetep harus ditulis kok ceritanya. Soalnya kalau saya pikir-pikir, sebuah cerita yang (menurut saya) unik dan bagus, sayang banget kalau hanya nangkring di kepala saja, sayang banget kalau hanya terpenjara di dalam harddisc dalam bahasa biner. So, menulis, menulis, dan menulis. April, mulai lagi projek menulis yang dulu sudah direncanakan awal Desember tahun lalu.

Blah, pemalas benar ya diri ini. Semangat lagi ah. :=)

Friday, March 26, 2010


Pagi-pagi sudah dapat pencerahan. Pagi ini saya iseng-iseng membuka-buka buku Room to Read (Tinggalkan Karier di Microsoft demi Membangun 7.000 Perpustakaan di Pelosok Dunia). Buku ini dulunya pernah diterbitkan dengan judul Leaving Microsoft to Change the World. Sebenarnya apa yang dialami oleh John Wood, penulis buku ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang saya inginkan. Karier cemerlang, suka membaca buku, mencintai keheningan, mendamba ketenangan hidup, dan senang jalan-jalan.

Membaca buku ini, saya mendapati beberapa petikan yang sangat inspiratif. Salah satunya adalah kalimat dari Dalai Lama yang diambil dari bukunya yang berjudul The Art of Happiness yaitu fakta dasarnya adalah bahwa semua makhluk yang memiliki kesadaran, terutama manusia, menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan rasa sakit dan penderitaan'. Selain itu ada juga salah satu petikan dari Dostoyevsky yaitu ' Jika Anda berharap untuk melihat sekilas ke dalam jiwa manusia dan ingin mengenal seorang manusia, pandanglah saat dia tertawa. Jika dia tertawa dengan baik, dia adalah orang baik.

Mengapa dua petikan itu penting menurut saya. Sampai saat saya menulis catatan ini, buku tersebut baru saya baca sampai halaman 36, jadi belum sampai selesai. Kedua petikan di atas, menyentil pemikiran saya karena akhirnya pemikiran itu datang juga kepada saya, melalui sebuah buku pula. Kekayaan, materi, karier, dan segala pernak-pernik yang mengikutinya memang enak dan membawa kita pada kemudahan fasilitas, namun sesuatu yang tak terbeli oleh materi adalah kebahagiaan itu sendiri. Perasaan bahagia memang mahal harganya. Dan memang benar kata Dalai Lama itu. Kutipan itu juga mengingatkan saya pada sastrawan Budi Darma. Beliau pernah menulis bahwa tak ada manusia di dunia ini yang benar-benar memilih untuk hidup tidak bahagia. Wuih dalem banget pokoknya.

Mengenai petikan yang kedua, saya baru tau identifikasi seperti itu. Kalau saya flashback ke belakang sih sebenarnya ada benarnya juga. Saya inget gaya tertawa dari teman-teman saya. Memang dari situ bisa terlihat sih sifatnya. Walaupun tidak secara 100% bisa jadi patokan, tapi sepertinya cukup valid. Mungkin mulai saat ini saya akan lebih teliti lagi mengamati. dari situ saya juga akhirnya berpikir, bagaimana teman-teman saya menilai diri saya? Apakah saya ini termasuk kategori orang baik-baik? Wadew, saya sudah kalau disuruh jawab pertanyaan ini.

Oleh karena penasaran dengan isinya, ditambah dengan deadline membaca buku yang sepertinya agak-agak mengganggu jadwal terpadat saya akan tidur siang, akhirnya saya akan kembali bergumul dengan buku itu. Room to Read. Happy reading. ;=P

Gambar dipinjam dari sini.

Wednesday, March 24, 2010

Prioritas


Entah kenapa ya akhir-akhir ini saya sulit sekali menentukan skala prioritas dalam hidup yang saya jalani. Banyak sekali pikiran yang terlintas dan menuntut untuk segera dimobilisasi semuanya. Pekerjaan dan rutinitas yang sepertinya tiada berkesudahan. Buku-buku yang menuntut untuk segera dibaca. Ide yang berseliweran di ranah pemikiran yang mendorong-dorong untuk segera dituangkan dalam tulisan. Keinginan untuk bersekolah di Perguruan Tinggi Negeri Favorit (Universitas Indonesia Jurusan Ekonomi Manajemen). Traveling keliling Indonesia. Menghadiri acara pertemuan para blogger international di Jerman (semoga menjadi wakil Indonesia ya saya hehehe, Insya Allah, Amin). Bahasa Inggris yang mendukung perolehan skor TOEFL untuk sekolah ke luar negeri. Bahasa Jerman untuk traveling ke Eropa. But mostly, I want to improve my English, first. Karena kalau saya pikir-pikir, bahasa Inggris merupakan jembatan bagi saya untuk berhubungan dengan khalayak yang lebih luas di kancah global.

Beberapa minggu yang lalu saya sering sekali bertemu dengan orang-orang bule dari Jerman. Dan akhir-akhir ini, saya juga sering sekali bertemu atau menjumpai segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia-dunia Jerman. So, what does that mean? I think it's like a sound from the universe. Hehehe lol ;=). Saya jadi yakin bahwa segala sesuatu yang menjadi keresahan-keresahan dan keinginan dari hati yang paling dalam akan membawa dampak pada 'obsesi' (dalam arti positif) yang mendorong segala sesuatu yang kita kerjakan mengarah ke sana. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, saya memang menginginkan untuk bisa menang dan berangkat ke Jerman. Dari dulu memang saya ingin pergi ke luar negeri, namun ke luar negerinya bukan ke Singapore atau Malaysia seperti teman-teman saya, yang tujuan utamanya hanya untuk foto-foto di Orchard Road atau Merlion atau Menara Petronas. Huht, turis banget kayaknya hehehe. Pengennya saya ke Jerman, ada sesuatu yang didapat dari perjalanan itu sendiri. Memang sih, foto-foto tetap jangan dilewatkan, namun hal itu hanya menjadi 'bumbu' dari perjalanan. Yang paling penting adalah pengalaman itu sendiri. Karena pengalaman tak bisa dicuri.

Dan ngomong-ngomong masalah Malaysia, teman saya yang baru saja pulang dari Malaysia bulan kemarin, tadi siang mengantarkan oleh-oleh berupa replika Menara Petronas dan gantungan kunci yang cantik banget. Wow, thanks a lot to Minardo Siregar untuk oleh-olehnya.

Balik lagi masalah prioritas, saya lagi membaca buku Alice's Adventure in Wonderland and Trought The Looking Glass. Buku klasik untuk anak-anak sih sebenarnya. Cuma karena dunia dan cerita Alice sedang hot-hotnya ni di bioskop, ya udah gak ada salahnya kalau saya baca buku itu. Sekalian buat nambah kosakata bahasa Inggris. Ada banyak buku di my 'ROOM to READ' yang sepertinya mengundang untuk segera dibaca.
Beberapa buku itu antara lain:
  1. The Lonely Planet Story karya Tony Wheeler
  2. Selimut Debu karya Agustinus Wibowo
  3. Room to Read karya John Wood
  4. Interpreter of Maladies karya Jhumpa Lahiri
  5. The Nameshake karya Jhumpa Lahiri
  6. The Windows karya Fira Basuki (versi bahasa Inggris dari novel Jendela-Jendela)
  7. The Rainbow Troops karya Andrea Hirata (versi bahasa Inggris dari novel Laskar Pelangi)
  8. dan beberapa judul lagi yang (pada saat menulis catatan ini) lupa saya judul bukunya.
Selain itu ada beberapa buku yang sudah saya incar untuk saya beli. Buku-buku tersebut adalah:
  1. Oeroeg
  2. The Templar Legacy
  3. Tanah Tabu
  4. The World without Us
Untuk judul yang ke-empat itu yang puengen banget membacanya dari dulu. Sepertinya buku itu mengandung magnet tersendiri yang mampu menghipnotis saya untuk segera membeli dan membacanya. Tapi, saya masih harus bisa menahan diri untuk membelinya hingga awal bulan depan. Sebenarnya sekarang sih juga bisa membelinya, cuma kok, sepertinya bulan ini belanja bukunya sudah di luar kewajaran (artinya sudah cukup kalap belanja buku). Pengen juga belanja baju, nonton film, dan beli tiket pesawat (yang anehnya tiket pesawat untuk hari liburan panjang sudah pada habis terjual .... hwaaaaa mewek.com).

Memang ya, keinginan manusia itu gak ada batasnya, sedang alat pemuas kebutuhan itu terbatas jumlahnya (wadew, teori ekonomi banget ni). Skala prioritas dibutuhkan karena keterbatasan waktu yang di miliki. Anehnya beberapa hari terakhir ini, waktu saya habis hanya untuk mengurusi masalah kerjaan di kantor saja. Bulan-bulan ini sampai dengan tanggal 31 Maret mendatang memang lagi musimnya orang lapor SPT Tahunan, jadi saya harus standby di depan untuk menerima laporan SPt itu. Capeknya minta ampun deh. jadi, sampeh rumah sudah langsung tepar. Segala rencana membaca, menulis, membuat resensi, atau belajar buat persiapan kuliah pun jadi berantakan. Bahkan untuk sekadar menulis di blog ini saja, rasanya tidak cukup waktu dan tenaga. Inspirasi sepertinya juga macet banget. Entah mengapa ketika saya selesai membaca buku Di Balik Layar Laskar Pelangi dan Di Balik Layar Sang Pemimpi, tak satupun dari keduanya yang sudah selesai saya tulis resensinya. Padahal pengen banget setiap buku yang sudah selesai saya baca pengen saya tulis sekalian resensinya. Akhirnya, setelah saya pikir-pikir, pekerjaan meresensi buku lebih baik saya masukkan dalam kategori kegiatan opsional saja. Karena saya ingin fokus buat nulis projek novel saya yang sudah sering terbengkalai. hahahahaha ini aja yang diomongin tapi belum juga dikerjakan. Huft, sebel juga kadang saya dengan ketidakkonsistenan diri.

Kalau ditanya apa yang paling diinginkan saat ini adalah menang di Jerman, terbang ke sana, bertemu dengan orang-orang baru, punya banyak waktu luang buat nulis buku, punya duit banyak buat traveling, punya waktu buat baca buku.

Tapi kalau di suruh milih ya satu itu. Pengen ke Jerman. Semoga menang. Semoga menang. Semoga menang. Ya Allah semoga saya berhasil menapaki semua hal yang saya inginkan, walaupun secara perlahan-lahan. Yang penting kesampaian semuanya. Amin.

So, sepertinya saya sudah ngobrol ngalor-ngidul, daripada saya melakukan kegiatan yang gak jelas, mending saya mulai saja membaca lagi buku Alice's Adventure in Wonderland and Trought The Looking Glass. Happee reading and good night.
Cheers to everyone.
;=)

Gambar dipinjam dari sini.