Monday, August 31, 2009

Menulis itu ...

Beberapa hari ini saya seperti baru saja kembali menemukan energi kreatif dalam menulis. Sudah lebih dari tiga bulan tak menyentuh dan mengisi blog ini membuat saya kembali merenung akan apa yang sudah saya lakukan selama ini. Projek menulis yang saya tetapkan untuk dimulai pada Januari 2009 silam tampaknya menunjukkan sesuatu yang layak disebut nihilisme. Tak selembarpun karya yang sudah saya hasilkan dalam bentuk sebuah manuskrip. Ide-ide yang dulu saya anggap sebagai ide brilian hanya mampu hadir dalam dunia imaji, belum sampai lahir menjadi sesuatu yang terbaca. Kadang kala perasaan menggebu-gebu untuk secara serius menuliskannya datang sesekali, namun lebih seringnya meninggalkan jejak berupa rasa yang lahir dari suatu kemalasan berpikir dan menulis.

Menulis bagi saya merupakan sebuah kegiatan yang menyenangkan. Saya menyukai kata-kata dan bahagia bisa terperangkap di dalamnya. Menulis memang membutuhkan konsentrasi. Tapi untuk menulis di blog ini (yang memang dibuat untuk tujuan menulis saja, tanpa tendensi apa-apa) tak diperlukan sesuatu yang perlu dipikirkan terlalu sulit. Apalagi sampai membuat pusing kepala. Blog ini dibuat justru sebagai media untuk menyalurkan segala pikiran yang berkontribusi membuat kepala menjadi pusing. Sebuah media relaksasi memenjarakan bahasa ide dalam dunia biner.

Kegiatan menulis sudah saya lakukan sejak kecil. Setidaknya ketika masih duduk di Sekolah Dasar, saya sudah menunjukkan minat ke arah dunia kepenulisan. Dulu, saya adalah satu-satunya murid yang kalau ditugasi oleh guru untuk mengumpulkan kata-kata yang berhubungan dengan sesuatu sebanyak sepuluh kata, saya sudah mendapatkan kata-kata tersebut sebanyak dua halaman buku tulis penuh. Saya juga tidak mau kalah dari teman-teman sekelas saya dalam hal pelajaran mengarang. Saya selalu berusaha menulis karangan saya sebaik-baiknya dengan hasil yang sepanjang-panjangnya. Waktu itu mungkin saya lebih mementingkan pada kuantitas daripada kualitas. Lebih konsen pada eksistensi daripada esensi. Namun demikian, sedikit demi sedikit saya juga mulai menyadari bahwa kombinasi dari keduanya merupakan sesuatu yang harus saya miliki kalau saya menginginkan sebuah dunia yang memberikan kesenangan dalam bekerja dan berkarya.

Menulis bagi saya masih sebatas sebagai hobi. Sebuah kebiasaan yang melekat sebagai ekses dari kegiatan membaca yang memang secara faktual telah menjadi kebutuhan hidup. Entah kenapa, sepertinya saya harus mulai mereka ulang pandangan ini dan merekonstruksikannya menjadi salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam hidup. saya melihat bahwa sepertinya teman-teman penulis di luar sana mempunyai waktu tersendiri di mana dalam suatu porsi hidupnya dipakai untuk menulis tanpa harus mengganggu eksistensi dari kegiatan pokok yang memang menjadi rutinitas yang harus ia jalani setiap hari.

Pekerjaan yang saya jalani sepertinya juga jarang sekali memberikan toleransi untuk membuat hidup ini merasa nyaman untuk melakukan kegiatan yang dari awal sudah saya inginkan untuk dilakukan. Saya datang ke kantor tiap pagi, mengerjakan tugas-tugas yang seperti tida habisnya, bercanda dan ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas, dan pulang pada sore atau malam hari dengan membawa perasaan capek yang mendorong hati untuk segera beristirahat. Malam hari sebenarnya adalah waktu yang paling ideal dalam menulis. Namun kenyataannya, malam menjadi waktu yang paling pas untuk tidur agar badan bisa segar kembali sehingga bisa masuk kantor dengan perasaan fresh. Hal-hal kecil kerap kali menjadi penghambat dalam kegiatan tersebut. Di kosan saya saat ini sedang kedatangan seorang tamu, saudara bapak kos, asalnya dari Sidikalang, Sumatera Utara. Satu hal sudah jelas di depan mata. Penghuni rumah yang saya tinggali semakin banyak. Hal itu ditambah pula dengan anak bapak kos yang kuliah di Trisakti sekarang sudah tidak kos lagi. Hal itu menambah juga jumlah penghuni rumah yang semula hanya ramai di akhir pekan sekarang menjadi ramai setiap malam. Walaupun sebagai orang batak mereka tidak melulu berbicara layaknya orang berteriak-teriak, tapi penggunaan perangkat televisi secara berkesinambungan setiap malam juga menjadi semacam polusi suara yang berkontribusi membuyarkan konsentasi.

Sedih rasanya kalau memikirkan hal yang sedemikian rumitnya. Kadang saya sangat ingin keluar dari rutinitas ini, menjalani kehidupan dengan menulis tanpa harus memikirkan keruwetan pekerjaan kantor yang memang kalau dipikir-pikir sangat membosankan.

Menulis. Menulis. Dan menulis. Itulah slogan yang selalu saya benamkan dalam pemikiran saya. Saya pikir konsep-konsep demikian jika dimasukkan dalam suatu sistem penetrasi pemikiran akan menghasilkan dorongan yang kuat, akan menghasilkan suatu energi yang besar dalam berkreativitas untuk menghasilkan karya. Suntikan yang dulu saya dapatkan dari dorongan kepercayaan atau pujian dari orang-orang yang sudah mebaca karya-karya saya mungkin sekarang hanya merupakan suatu yang kecil kontribusinya dalam membangkitkan energi kreatif. Karena yang terpenting adalah bukan membuat orang puas setelah membaca karya-karya saya dan memberikan pujian (yang entah murni pujian atau hanya sebatas pujian untuk menyenangkan hati saya), akan tetapi justru kepada tidak padamnya energi untuk terus menulis itu sendiri yang menjadi titik tolak saya dalam berkreativitas. Senang rasanya bisa terus menulis dan melihat bahwa waktu yang telah saya jalani senantiasa menghasilkan suatu konsep pemikiran atau mungkin (hanya) sejumput kenangan dalam bentuk tulisan, yang suatu saat bisa saya buku dan baca kembali, untuk sekadar sebagai bahan perenungan, sebuah reflesi dan evaluasi diri bahwa waktu dan energi dan waktu yang terbuang selama ini mampu menghasilkan ekses yang baik yang (mungkin) mampu mendaur ulang energi yang mendorong keinginan untuk selalu berkreasi, berkarya, dan memaksimalkan kemampuan dalam diri.

Friday, August 28, 2009

Mulai (lagi)

Lama sudah saya tidak menulis di blog ini. Bukannya malas namun lebih kepada 'tak ada hal yang patut ditulis'. Tapi setelah saya pikir-pikir, kebiasaan menulis, sekalipun hal-hal remeh temeh kadang-kadang bisa menjadi hal yang berguna di kemudian hari. Dan berangkat dari pemikiran tersebut, saya berusaha untuk menulis di blog ini sesering yang saya bisa.

Kegiatan tulis-menulis yang saya jalankan bisa dibilang masih hijau. Banyak sekali hambatan menggoda yang memberikan alasan untuk tidak menulis. Sabtu minggu merupakan waktu yang ideal untuk melakukan proyek yang saya jalankan untuk memulai menulis cerita. Dari dulu saya memang berencana untuk menulis buku. Baru sebatas rencana. Itulah yang membuat ide-ide yang bercokol di kepala saya kadang-kadang bukannya mengendap malah kadang terlupakan. Terlalu banyaknya buku-buku yang belum terbaca, waktu yang terbuang percuma tanpa meninggalkan jejak makna sedikitpun, dan acara-acara yang ingin dihadiri namun tak bisa terhadiri, membuat saya berpikir bahwa keputusan besar untuk sejenak berhenti dan mengasingkan diri dari segala rutinistas kehidupan dan fokus untuk menulis harus segera diambil.

Fokus. Itulah sebenarnya kunci utama untuk menyelesaikan segala permasalahan kepenulisan yang saya alami. Saat ini saya masih belum bisa fokus untuk secara serius dan terus-menerus menulis dalam jangka waktu yang relatif lama demi menghasilkan berlembar-lembar naskah tulisan. Perasaan malas yang yang menggelayut (masih) menjadi musuh utama dan serius dalam setiap kesempatan yang saya miliki. Ingin sekali membuat tenggat waktu. Tapi, seperti saya bilang tadi bahwa tenggat waktu kadang-kadang membuat saya seperti terpenjara sendiri dalam sebuah dunia yang saya buat sendiri.
Perasaan tidak enak, sebagai bagian dari kehidupan yang tertanam dalam diri 'orang timur' kadang kala masih menjadi satu penyebab belenggu yang memenjara jiwa. Namun, apabila saya mengambil sebuah keputusan yang 'sangat egois', saya akan mendapat sebuah label yang sangat arogan dalam menyikapi orang lain.

Adanya kegiatan tak terduga kadangkala juga menjadi semacam penyebab terganggunya kegiatan menulis yang saya jalankan. Perasaan ingin datang namun di sisi lain telah ada jadwal yang terencana untuk dilaksanakan membuat saya berpikir untuk menjadwal ulang kegiatan tersebut. Tentu saja kegiatan yang akan saya jadwal ulang menyangkut kegiatan yang dalam pemikiran saya dapat memberikan nilai lebih, dalam artian bisa mendukung karier kepenulisan saya kelak, atau yang dapat memberikan impresi dalam diri, sehingga bisa jadi akan memberikan perasaan menyesal karena acara serupa tidak akan terulang lagi.

Saya juga mengalami sebuah inefisiensi dalam menggunakan perangkat yang sudah saya miliki. Di rumah telah ada laptiop, namun benda tersebut sampai saat ini hanya berfungsi sebagai alat pemutar DVD dan sarana menulis catatan harian. Saya masih belum berani menulis cerita secara langsung dengan menuangkannya dalam bahasa biner. Tak tahu kenapa, saya lebih senang menulis di atas kertas untuk kemudian saya salin (baca: edit) dengan menuliskannya di laptop. Beberapa alasan yang menjadi perhatian saya mengapa menulis dengan tinta dan kertas karena alasan yang klise. Saya memilih cara menulis yang saya rasa paling nyaman untuk dilakukan. Sekalipun kadang-kadang terasa pegal juga menggoreskan tinta di lembaran-lembaran kertas, saya sangat menyukai kegiatan tersebut. Saya juga sangat senang berada di antara lembaran-lembaran kertas. Banyak sekali kertas-kertas yang sudah tidak terpakai atau buku-buku yang memang belum dipakai tapi tidak tahu mau dipakai buat apa, yang akhirnya menumpuk di gudang, akhirnya saya putuskan untuk menggunakannya sebagi media menulis. Saya menganggap hal itu sebagai sebuah ketidakefektifan yang sangat menyenangkan.

Ditemani segelas susu atau minuman ringan dan beberapa cemilan saya biasanya mulai menulis. Dan satu hal yang membuat saya merasa bebas, saya masih single dan belum punya pacar, sehingga saya tidak perlu repot-repot memikirkan harus mengurus anak orang atau janjian berkencan yang nyata-nyata akan membunuh waktu kreativitas dengan percuma (untuk saat ini). Begitulah kehidupan saya, orang dengan impian besar dan penuh dilema dalam merealisasikannya. Tak banyak orang yang tahu bahwa dalam dirinya penuh dengan cita-cita.

Thursday, August 27, 2009

Dilema Akhir Pekan

Saya seringkali merasa bimbang jika akhir pekan tiba. Bukan karena tidak ada kegiatan dan merasa mati kebosanan di rumah, tapi karena sering terjadi tabrakan kepentingan di waktu tersebut. Di satu sisi, saya ingin istirahat total di rumah, memanjakan badan dan pikiran dengan tidur seharian atau nonton film. Selain itu, liburan akhir pekan merupakan waktu paling nyaman untuk menulis. Di sisi yang lain, selalu saja ada keperluan yang harus diselesaikan dan akan mengganggu pikiran jika tidak dikerjakan.

Rasa kasihan karena seorang sepupu saya selalu minta ditemani, seorang teman lama yang tiba-tiba mengirim pesan pendek untuk minta bertemu, hajatan pernikahan teman kantor, kerabat, atau kenalan, dan tentu saja, lembur kerja kantor yang tiba-tiba keluar aturan serta sanksinya, sungguh membuat hati ini risau untuk memilih satu yang dirasa paling penting. Untuk sepupu memang sebenarnya saya menyediakan waktu sebulan sekali dari waktu setiap akhir pekan yang dimintanya. Ini pun kadang masih terdapat kelonggaran. Namun, kegiatan-kegiatan insidental kadang datang menyapa secara tiba-tiba seolah memberi kejutan. Antara rasa takut bersalah dan tidak enak hati dengan mereka-mereka yang berkepentingan dengan saya, biasanya saya akan memilih secara tegas untuk tinggal di rumah dan mulai duduk untuk benar-benar menulis.

Saya berusaha untuk menganulir kegiatan-kegiatan yang memang memiliki intensitas yang masuk kategori tidak penting. Bukannya saya egois, namun lebih kepada mempertahankan prinsip untuk mencapai salah satu mimpi saya sejak kecil (yang terus menerus tertunda) yaitu menulis cerita. Akan tetapi, saya hampir tidak bisa menjelaskan tentang kesibukan yang saya jalani. Kalau ini disebut egois mungkin saya tidak keberatan karena terus terang menulis membutuhkan waktu tersendiri untuk secara tenang bereuni dengan diri pribadi, mengekspresikan ide yang terlintas di pikiran menjadi sesuatu yang terbahasakan.

Langkah tersebut saya ambil karena memang telah banyak waktu terbuang percuma tanpa suatu hal yang bermakna. Saya yakin mereka akan mengerti dan menghargai apa yang saya lakukan tanpa saya harus berterus terang tentang apa yang menjadi beban pikiran selama ini.

Akan tetapi, tidak selamanya setiap akhir pekan saya menghabiskan waktu liburan untuk menulis. Mengunjungi sepupu saya yang minta ditemani kadang-kadang juga menjadi semacam tamasya penghiburan setelah kepenatan dan kebosanan dalam pekerjaan datang melanda. Bersosialisasi dengan teman-teman lama juga masih saya lakukan walaupun intensitasnya semakin berkurang. Semua itu akan berusaha saya lakukan walaupun jarang karena pada dasarnya saya bukan manusia yang antisosial, namun bukan pula manusia yang mau berhenti menulis. Oleh karena itu, saya hanya bisa berdoa, semoga semua baik-baik saja.

Wednesday, August 26, 2009

The Chamber of Secrets: Bukan Hanya Sebuah Sarang

Pertunjukan tarian pena dimulai
saat pintu-pintu mulai mengatup.

Kegiatan menulis baru bisa saya lakukan sehabis sholat isya'. Itulah saat-saat bagi saya untuk merasakan kemerdekaan melakukan sesuatu setelah seharian bekerja. Keadaan seperti itu mendapatkan pengecualian pada hari Sabtu dan Minggu karena saya bebas melakukan apa saja di hari libur tersebut.

Setelah mandi dan makan, saya biasa mengurung diri di dalam kamar. Mengunci pintu mutlak saya lakukan untuk menghindari interupsi-interupsi dari anggota rumah yang lain atau demi keamanan apabila tiba-tiba tertidur sebelum waktunya. Yang jelas, saya merasakan kenyamanan saat sendirian berada di dalam kamar, bergelut dengan buku, dan lembaran-lembaran kertas yang tersebar di atas meja kerja.

Kamar saya tidak terlalu luas. Sebuah kamar yang berisi sebuah ranjang, sebuah lemari pakaian, dan seperangkat meja kerja. Tidak terlalu banyak perabot memang. Tapi bagi saya, setiap hal yang ada di dalam kamar tersebut mempunyai fungsi seperti yang saya inginkan. Cukup sederhana kelihatannya. Saya memang senang dengan kesederhanaan. Pola hidup sederhana menjadikan saya merasa kaya. Lahir maupun batin. Saya melewati jenjang hidup yang saya jalani sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan oleh Allah. Saya menikmatinya. I think, I will happy with my own way.

Dan di setiap kamar yang menjadi 'sarang' saya, di situlah kebahagiaan sejati sering menampakkan wujudnya. Saya bisa membunuh setaip detik waktu dengan membaca, menulis atau bahkan tidur seharian tanpa ada yang mengganggu. Melakukan kegiatan yang benar-benar saya sukai adalah hadiah terindah dalam hidup ini.

Di dalam sarang, saat ini saya sedang membaca sebuah buku karya Umberto Eco dengan judul The Name of The Rose. Pada halaman 8 buku tersebut terdapat kalimat yang sangat bagus, tertulis dalam bahasa latin. Kalimat tersebut berbunyi: "In omnibus requiem quaesivi, et nusquam inveni nisi in angulo cum libro." Kalimat tersebut kurang lebih berarti begini, "dalam segala hal saya telah mencari ketenteraman dan saya tidak menemukan di manapun, kecuali di pojok bersama buku."

Kalimat tersebut rasanya sangat cocok dengan saya. Sebagai orang rumahan yang jarang pergi keluar kecuali ada kepentingan, saya memang lebih sering membenamkan diri bersama buku atau kertas. Itulah dunia saya.

Kadang-kadang dalam pikiran yang sangat ekstrem, pernah terlintas di benak saya, apa yang dilakukan seseorang di alam kubur untuk menunggu datangnya hari kiamat. Saya pernah membayangkan bahwa alam tersebut berupa suatu ruangan dengan tempat tidur nyaman, penerangan yang optimal untuk membaca, dan yang paling penting terdapat banyak rak yang penuh dengan buku-buku. Pasti akan menjadi hal yang menyenangkan jika memang demikian. :)

Namun demikian, di dalam kamar yang saya sebut sarang inilah saya berada sekarang. Di tempat ini saya hidup. Di sinilah saya berkarya. Dan di dalam lubuk hati saya, berbisik sebuah pernyataan. Kamar ini bukanlah satu-satunya pintu sukses, tapi banyak kesuksesan berawal dari kamar ini.

So, let's hope for the best!!!

Tuesday, August 25, 2009

Alohomora: Sebuah Mantera Pembuka

Pada mulanya adalah kata.
Dan halaman pertama pun berbicara.

Akhirnya saya mempunyai blog. Sebuah blog dengan tampilan yang kebetulan pas di hati saya. Berwarna cokelat kekuningan sehingga mirip sekali dengan perkamen- kulit yang dipakai sebagai pengganti kertas.

Istilah perkamen saya dapatkan dari membaca novel fiksi fantasi. Mulai dari trilogi The Lord of the Ring sampai dengan serial Harry Potter sering sekali menggunakan istilah perkamen. Saya memang penyuka novel fiksi fantasi. Selain sebagi hiburan, novel fiksi fantasi merupakan media pembelajaran bagi saya mengenai bagaimana seorang penulis besar menulis.

Saya memang berencana menulis sebuah buku.
Sebuah novel fiksi fantasi yang saya suka. Dua orang penulis favorit saya adalah JK Rowling dan JRR Tolkien. Dari mereka , saya belajar menciptakan nama-nama, membuat plot yang baik, dan teknik bercerita yang brilian.

Saya terkesan dengan karakter Hermione Granger, Gilderoy Lockhart, dan Bilbo Baggins. Mungkin ketiga tokoh tersebut merupakan representasi dari diri saya. Saat masih sekolah, saya mungkin mirip sekali dengan Hermione. Panjang kertas jawaban essay saya sangat jarang sekali dikalahkan. Saya selalu membutuhkan kertas tambahan sedikit lebih banyak dari teman-teman saya. Berkaitan dengan Gilderoy Lockhart, kata teman-teman, saya agak sedikit narsis, senang difoto, dan tampil di mana-mana. Tetapi menurut saya, kegemaran difoto hanya merupakan sebuah langkah preventif agar saya tidak kehilangan momen-momen tertentu dalam hidup. Dan berkaitan dengan Bilbo Baggins, yah, kadang-kadang sifat usil membutuhkan kebebasan berekspresi. :)

Namun, benang merah dari ketiganya adalah mereka senang membaca dan menulis. Dua kegiatan kebahasaan yang sering dianggap remeh di ranah republik tercinta ini. Membaca bagi saya sudah menjadi kebutuhan, yang wajib dan harus dilakukan setiap hari layaknya makan, minum, dan buang air. Sedangkan kegiatan menulis baru sebatas hobi yang mungkin suatu saat akan menjadi passion dalam hidup saya.

Melalui blog ini, saya akan menulis perjalanan proses kreatif saya dalam mengasah kemampuan menulis, terutama yang berkaitan dengan fiksi fantasi. Siapa tahu suatu saat, saya akan menjadi penulis novel sekaliber JK Rowling atau JRR Tolkien dari Indonesia.

So, wish me luck.
Berawal dari satu kata.
Berawal dari halaman pertama.

Alohomora: Let's this blog begin!!!